Kamis, 21 Januari 2016

AKSARA JAWA

0 komentar
Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka dan Carakan adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.
Dalam sehari-hari, penggunaan aksara Jawa umum digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali dikenalkan Belanda pada abad ke-19. Aksara Jawa resmi dimasukkan dalam Unicode versi 5.2 sejak 2009. Meskipun begitu, kompleksitas aksara Jawa hanya dapat ditampilkan dalam program dengan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor kata open source, sehingga penggunaannya tidak semudah huruf Latin. Kesulitan penggunaan aksara Jawa dalam media digital merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang populernya aksara tersebut selain di kalangan preservasionis.

CIRI-CIRI 
Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap aksara di dalamnya melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan dari posisi aksara di dalam kata tersebut. Penulisan aksara Jawa dilakukan tanpa spasi (scriptio continua), dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata. Selain itu, dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa juga kekurangan tanda baca dasar, seperi titik dua, tanda kutip, tanda tanya, tanda seru, dan tanda hubung.
Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara dasar terdiri dari 20 suku kata yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa modern, sementara jenis lain meliputi aksara suara, tanda baca, dan angka Jawa. Setiap suku kata dalam aksara Jawa memiliki dua bentuk, yang disebut nglegena (aksara telanjang), dan pasangan (ini adalah bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis gugus konsonan).
Kebanyakan aksara selain aksara dasar merupakan konsonan teraspirasi atau retrofleks yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno karena dipengaruhi bahasa Sanskerta. Selama perkembangan bahasa dan aksara Jawa, huruf-huruf ini kehilangan representasi suara aslinya dan berubah fungsi.
Sejumlah tanda diakritik yang disebut sandhangan berfungsi untuk mengubah vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan menandakan ejaan asing. Beberapa tanda diakritik dapat digunakan bersama-sama, namun tidak semua kombinasi diperbolehkan.

SEJARAH 
Tulisan Jawa dan Bali adalah perkembangan modern aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sanskerta yang biasa ditulis dalam naskah daun lontar.Selama periode Hindu-Buddha, bentuk aksara Kawi berangsur-angsur menjadi lebih Jawa, namun dengan ortografi yang tetap. Pada abad ke-17, tulisan tersebut telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan dikenal sebagai Carakan atau hanacaraka berdasarkan lima aksara pertamanya.
Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, di antaranya cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang. Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.
Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan landasan awal standarisasi ortografi aksara Jawa.Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, di antaranya Patokan Panoelise Temboeng Djawa oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946,dan sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006. KBJ juga berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.
Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan pada 1926,dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa Jawa. Hanya beberapa majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa, seperti Jaka Lodhang. Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.

AKSARA
Sebuah aksara adalah satuan terkecil yang merepresentasikan suku kata terbuka (Konsonan-Vokal) dengan vokal /a/ atau /ɔ/ tergantung dari posisinya.Namun vokal juga tergantung dari dialek pembicara; dialek Jawa Barat cenderung menggunakan /a/ sementara dialek Jawa Timur lebih cenderung menggunakan /ɔ/. Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan dalam Wewaton Sriwedari sebagai berikut:
  1. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila aksara sebelumnya mengandung sandhangan swara.
  2. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara setelahnya mengandung sandhangan swara.
  3. Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, kecuali dua aksara setelahnya merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara tersebut dibaca dengan vokal /a/.
Ketika ditransliterasikan ke dalam alfabet Latin, sebuah aksara ditransliterasikan menjadi suku kata, bukan huruf.
Terdapat 34 aksara konsonan dan 11 aksara suara (vokal) dalam aksara Jawa (di luar aksara tambahan), namun tidak semuanya digunakan dalam penulisan modern. Tabel berikut menunjukkan aksara Jawa dengan bunyi aslinya yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta:
Aksara Jawa
Tempat pelafalan Pancawalimukha Semivokal Sibilan Celah Vokal Diftong
Bersuara Nirsuara Sengau Pendek Panjang
Velar
(ka)

(kha)

(ga)

(gha)

(nga)



(ha) 

(a)

(ā)

Palatal
(ca)

(cha) 

(ja)

(jha)

(nya)

(ya)

(śa)


(i)

(ī)

Retroflex
(ṭa)

(ṭha)

(ḍa)

(ḍha)

(ṇa)

(ra)

(ṣa)


(re)

(reu)

Dental
(ta)

(tha)

(da)

(dha)

(na)

(la) 

(sa)


(le)

(leu)

Labial
(pa)

(pha)

(ba)

(bha)

(ma)

(wa)



(u)

(ū)

Velar-Palatal

(e)


(ai)
Velar-Labial

(o)


(au)
^1 Hanya ditemukan dalam bentuk pasangan (lihat di bawah). Bentuk aslinya sudah tidak diketahui lagi
^2 Ḍa dan ṭa lebih umum ditulis dha dan tha. Penulisan ini digunakan untuk membedakan dha (ɖa) dan tha (ʈa) retroflex dalam bahasa Jawa modern dengan dha (d̪ha) dan tha (t̪ha) teraspirasi dalam bahasa Jawa kuno.
^3 Sebenarnya konsonan alveolar, namun diklasifikasikan sebagai dental (gigi).
^4 Dapat dibaca tanpa bunyi /h/, misalnya (/ɔnɔ/, transliterasi: ana, arti: ada)


Ortografi Jawa modern mengabaikan pelafalan asli sejumlah aksara konsonan yang kemudian dialihfungsikan. Dari 34 bunyi di atas, 20 bunyi menjadi aksara dasar (nglegéna) sementara aksara lainnya dikategorikan sebagai murda dan mahaprana, dengan "bunyi" yang sama dengan aksara nglegenanya.
Beberapa istilah dalam aksara Jawa menurut aturan bahasa Jawa modern:
  • Aksara nglegéna adalah aksara dasar untuk menulis bahasa Jawa modern.
  • Aksara murda atau aksara gedé digunakan pada penulisan suatu nama, umumnya nama tempat atau orang yang dihormati. Seperti terlihat dalam tabel di atas, tidak semua aksara mempunyai bentuk murda, karena itu apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Misal, "Pakubuwana" ditulis dengan pa, ka, ba, dan na murda. Aksara murda tidak boleh diberi pangkon dan tidak perlu digunakan pada awal kalimat.
  • Aksara mahaprana adalah aksara yang secara harfiah berarti "dibaca dengan nafas berat". Mahaprana jarang muncul dalam penulisan aksara Jawa modern, oleh karena itu seringkali tidak dibahas dalam buku mengenai aksara Jawa.
Aksara Wyanjana (Konsonan)
Transkripsi ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegéna



















Murda















Mahaprana







^1 Awalnya jnya, namun pada perkembangannya menjadi huruf mandiri

Konsonan tambahan

Terdapat beberapa aksara yang dalam perkembangannya dianggap sebagai konsonan. Pa cerek, nga lelet, dan nga lelet raswadi awalnya adalah konsonan-vokalik /r̥/, /l̥/, dan /l̥:/ yang muncul pada perkembangan awal aksara Jawa karena pengaruh bahasa Sanskerta. Ortografi kontemporer mengelompokkan ketiganya sebagai aksara konsonan yang bernama ganten atau "pengganti", dengan bunyi masing-masing /ɽə/, /ɭə/, dan /ɭɤ/. Aksara ini didefinisikan sebagai aksara dengan vokal tetap yang menggantikan setiap kombinasi ra+pepet ( menjadi ), la+pepet (menjadi )​, dan la+pepet+tarung (menjadi )​. Karena sudah memiliki vokal tetap, ketiga aksara tersebut tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal.
Konsonanan tambahan lain meliputi ka sasak dan ra agung. Ka sasak merupakan penulisan tradisional bunyi /qa/ yang digunakan dalam bahasa Sasak, sedangkan ra agung pernah digunakan oleh sejumlah penulis untuk nama orang yang dihormati, terutama anggota kerajaan.
Kebanyakan bunyi yang asing dalam bahasa Jawa ditulis dengan tanda baca cecak telu di atas aksara yang bunyinya mendekati.Aksara semacam itu disebut sebagai aksara rekan atau "aksara rekaan", yang diklasifikan berdasarkan bahasa asalnya. Rekan paling umum berasal dari bahasa Arab dan bahasa Belanda. Terdapat pula dua jenis rekan lainnya yang digunakan untuk menulis bahasa Sunda dan kata serapan bahasa Tionghoa.
Aksara Tambahan
Ganten Ka sasak Ra agung
Nga lelet Nga lelet Raswadi Pa cerek





Aksara Rekan
kha dza fa va za gha






Vokal

Vokal murni umumnya ditulis dengan aksara ha sebagai konsonan kosong dengan tanda baca yang sesuai.
Aksara Suara

a i u é o
Pendek




Selain cara tersebut, terdapat juga aksara-aksara yang merepresentasikan vokal murni bernama aksara swara atau "aksara suara" yang digunakan untuk menandakan sebuah nama, seperti halnya aksara murda. Sebagai contoh, kata sifat "ayu" (cantik) ditulis dengan huruf ha. Namun untuk menulis seseorang yang bernama Ayu, aksara suara digunakan untuk mencegah kerancuan. Aksara suara juga digunakan untuk mengeja istilah bahasa asing, misalnya elemen Argon (Aksara suara tidak dapat dijadikan sebagai aksara pasangan sehingga aksara sigegan yang terdapat di depannya harus dimatikan dengan pangkon. Walaupun demikian aksara suara dapat diberi sandhangan wignyan, layar, dan cecak.
Aksara Suara

a i u é o
Pendek




Panjang




^1 Dalam teks tua, aksara swara i digunakan untuk /i:/ panjang, sementara /i/ pendek menggunakan sebuah huruf yang sekarang dikenal sebagai i kawi .
^2 Menjadi sebuah diftong.

Sandhangan

Sandhangan adalah sejenis aksara yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan tanda diakritik yang selalu digunakan bersama dengan aksara dasar. Ada tiga macam sandhangan, yaitu sandhangan suara yang berfungsi untuk mengubah vokal huruf dasar, layaknya harakat pada abjad Arab, sandhangan sesigeg (sandhangan akhir suku kata), dan sandhangan wyanjana (sandhangan tengah suku kata).

Suara

Sandhangan swara atau sandhangan vokal merupakan sandhangan yang paling umum. Terdapat sembilan sandhangan swara, namun vokal tertentu perlu ditulis dengan lebih dari satu sandhangan, kondisi ini terutama umum terjadi pada sandhangan tarung. Sandhangan swara dapat digunakan bersama sandhangan wyanjana.
Sandhangan swara

a i u e é o
Pendek
wulu suku pepet taling taling tarung tolong
Panjang tarung wulu melik suku mendhut pepet-tarung dirga mure
dirga mure tarung
^1 Pasangan ka, ta, dan la, yang menempel dengan suku dan suku mendhut berubah bentuknya menjadi aksara dasar.
^2 Aksara 'ra' dan 'la' tidak dapat dipasangkan dengan pepet (lihat bagian konsonan tambahan).
^3 Hanya digunakan pada penulisan Sunda.
^4 Menjadi sebuah diftong.

Sesigeg

Sandhangan sesigeg panyangga, cecak, dan wignyan memiliki fungsi yang sama seperti halnya karakter Devanagari candrabindu, anuswara, dan wisarga. Sandhangan sesigeg boleh digunakan bersama dengan sandhangan suara.
Sandhangan Sesigeg
-m -ng -h -r

panyngga 
cecak
wignyan

layar
^1 Panyangga umumnya hanya digunakan untuk simbol suci Hindu Om.
^2 Posisi sedikit berubah apabila digunakan bersama dengan wulu dan pepet. Cecak berada di sebelah kanan wulu dan ditulis di dalam pepet

Wyanjana

Sandhangan wyanjana cakra, cakra keret, dan pengkal berfungsi untuk membentuk gugus konsonan -ra, -re, dan -ya (misalnya "kra", "kre", dan "kya"). Ketiga sandhangan ini awalnya adalah pasangan dari aksara ra, pa cerek, dan ya sebelum dikhususkan menjadi sandhangan tersendiri dalam ortografi Jawa moderen.
Sebagai sebuah pasangan, sandhangan wyanjana bersamaan dengan pasangan wa memiliki sifat panjingan, yaitu pasangan yang dapat menempel pada pasangan lain membentuk tiga tumpuk aksara.
Sandhangan Wyanjana
-ra- -re- -ya-
cakra  keret pengkal
^1 Cakra aslinya terpisah dari aksara, namun lebih umum ditulis menyambung dengan bagian depan aksara seperti pada contoh di​​atas.

Pangkon dan pasangan



Pangkon memiliki fungsi yang sama seperti halnya virama dalam aksara Brahmi lain, yakni membentuk konsonan akhir dengan menghilangkan vokal inheren suatu huruf dasar. Namun pangkon tidak boleh digunakan untuk konsonan akhir -r, -h, dan -ng karena ketiganya dapat ditulis dengan tanda baca tersendiri. Misal, konsonan akhir -r ditulis dengan layar, tidak boleh dengan ra dan pangkon.
Pangkon juga hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila aksara mati terjadi di tengah kalimat, aksara tersebut perlu ditempeli dengan pasangan. Misal, aksara na yang dipasangkan dengan pasangan da, akan dibaca nda.Pasangan dianggap sebagai varian dari glif aksara dasar, karena itu suatu aksara dan pasangannya memiliki kode unicode yang sama. Pasangan akan terbentuk apabila aksara didahului oleh pangkon, misalnya "pasangan da" diketik dengan menulis "pangkon+da" menjadi
Pasangan dapat diberi sandhangan, seperti halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Sandhangan yang berada di atas diletakkan di atas aksara​ dasar, sementara sandhangan yang berada di bawah diletakkan di bawah pasangan. Sandhangan yang berada sebelum dan/atau sesudah aksara dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh ditempel dengan satu pasangan, atau satu pasangan dengan satu panjingan.
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi (''Scriptio continua''), sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.
Pasangan Wyanjana
Transkripsi ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegéna



















Murda















Mahaprana







Tambahan Ganten Ka sasak Ra agung
Nga lelet Nga lelet Raswadi Pa cerek





^1 Ada dua pendapat mengenai pasangan nga-lelet. Pendapat pertama: pasangan nga lelet adalah nga lelet yang diletakkan di bawah aksara nglegena, sehingga menyerupai aksara yang bertumpuk tiga (nga dan pasangan na). Pendapat kedua: pasangan nga lelet adalah pasanga la yang diberi pepet

Aksara numeral

Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 0–9 sebagai berikut:
Angka
Angka Arab 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0
Angka Jawa









Nama  siji  loro  telu  papat  lima  nem  pitu  wolu  sanga  nol
Lebih dari separuh angka Jawa memiliki bentuk yang mirip dengan karakter silabel Jawa, yaitu 1 dengan ga , 2 dengan nga lelet , 6  dengan Aksara E , 7  dengan la , 8  dengan pa murda , dan 9  dengan ya . Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks diapit dengan penanda angka yang disebut pada pangkat. Misal, "Selasa 19 Maret 2013" ditulis dengan supaya tidak dibaca "Selasa gaya Maret 2013"
Untuk menulis angka yang lebih besar dari 9, gabungkan dua angka atau lebih di atas seperti halnya angka Arab. Misal, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi;  Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis dengan
Terkadang, pada lungsi digunakan sebagai penanda angka.Dewasa ini angka Jawa hampir selalu digantikan dengan angka Arab untuk menghindari kemiripan dan mempermudah penghitungan matematika.

Tanda baca

Dalam aksara Jawa, tanda baca yang tersedia hanya koma, titik, dan pengapit (berfungsi sebagai tanda kurung atau tanda petik, dengan perbedaan aturan penulisan). Dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa tidak memiliki tanda seru, tanda tanya, tanda hubung, garis miring, titik dua, titik koma, petik tunggal maupun simbol-simbol matematika umum, seperti tambah, kurang, sama dengan. Namun aksara Jawa memiliki tanda baca-tanda baca khusus yang tidak terdapat dalam sistem penulisan lainnya.
Secara sederhana, tanda baca dapat dibedakan menjadi dua: umum dan khusus. Tanda baca umum digunakan di penulisan biasa, sementara tanda baca khusus digunakan dalam penulisan karya sastra (puisi, dll.)
Tanda baca umum
Simbol Nama Fungsi

Pada adeg Tanda kurung atau petik

Pada adeg-adeg Mengawali suatu paragraf

Pada piseleh Berfungsi seperti halnya pada adeg

Pada piseleh terbalik Berfungsi seperti halnya pada adeg

Pada lingsa Koma1 atau tanda singkatan

Pada lungsi Titik

Pada pangkat Tanda angka2 atau titik dua

Pada rangkep Tanda penggandaan kata
Tanda baca khusus (tunggal)
Simbol Nama Fungsi

Rerengan kiwa lan tengen Mengapit judul

Pada luhur Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih tua atau berderajat lebih tinggi

Pada madya Mengawali sebuah surat untuk orang yang sebaya atau berderajat sama

Pada andhap Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih muda atau berderajat lebih rendah
Tanda baca khusus (kombinasi)

Pada guru Mengawali sebuah surat tanpa membedakan umur atau derajat

Pada pancak Mengakhiri suatu surat
atau

Purwapada Mengawali sebuah tembang atau puisi

Madyapada Menandakan bait baru

Wasanapada Mengakhiri tembang atau puisi.
^1 Terdapat dua peraturan khusus mengenai penggunaan koma.
a. Koma tidak ditulis setelah kata yang berujung pangkon.
b. Koma menjadi titik apabila tetap ditulis setelah pangkon.
^2 Lihat aksara numeral di atas.
^3 Fungsinya mirip seperti simbol 2 atau 2 dalam ortografi bahasa Indonesia lama yang menandakan kata berulang, misal pada kata "orang2" (orang-orang). Karakter ini pada dasarnya adalah angka Arab dua (٢), namun tidak memiliki fungsi angka dalam aksara Jawa. Karakter tersebut diproposalkan sebagai karakter independen karena sifat dwi-arah angka Arab.
^4 Tanda baca khusus memiliki banyak varian karena sifatnya yang ornamental, dihias berdasarkan selera dan kemampuan penulis.

Tanda baca arkais


Tirta tumétés Tanda koreksi yang digunakan di Keraton Yogyakarta

Isèn-isèn Tanda koreksi yang digunakan di Keraton Surakarta
Tirta tumétés dan Isèn-isèn adalah semacam tanda koreksi yang berguna untuk menandakan salah tulis.Namun dalam penulisan digital, kedua karakter ini sudah tidak dipergunakan lagi. Dalam penulisan manuskrip, apabila terjadi kesalahan penulisan, maka penyalin mengoreksi bagian yang salah dengan menulis tanda tersebut sebanyak tiga kali. Tirta tumétés digunakan oleh penulis Yogyakarta, sementara Isèn-isèn digunakan oleh penulis Surakarta. Sebagai contoh, seorang penyalin naskan ingin menulis pada luhur namun salah tulis menjadi pada wu..., maka penyalin akan melanjutkan dengan menulis pada wu---luhur. Penyalin dari Yogyakarta menulis: , sementara penyalin dari Surakarta akan menulis:

Aksara Jawa Hanacaraka itu berasal dari aksara Brahmi yang asalnya dari Hindhustan. Di negeri Hindhustan tersebut terdapat bermacam-macam aksara, salah satunya yaitu aksara Pallawa yang berasal dari Indhia bagian selatan. Dinamakan aksara Pallawa karena berasal dari salah satu kerajaan yang ada di sana yaitu Kerajaan Pallawa. Aksara Pallawa itu digunakan sekitar pada abad ke-4 Masehi. Di Nusantara terdapat bukti sejarah berupa prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, antara lain: aksara hanacaraka , aksara Rencong (aksara Kaganga), Surat Batak, Aksara Makassar dan Aksara Baybayin (aksara di Filipina).
Konon sejarah yang berkembang di bumi Nusantara ini mengenai munculnya aksara Jawa dilatarbelakangi dari cerita pada jaman dahulu, di Pulau Majethi hidup seorang satria sakti mandraguna bernama Ajisaka. Sang Satria mempunyai dua orang punggawa, Dora dan Sembada namanya. Kedua punggawa itu sangat setia kepada pemimpinnya, sama sekali tidak pernah mengabaikan perintahnya. Pada suatu hari, Ajisaka berkeinginan pergi berkelana meninggalkan Pulau Majethi. Kepergiannya ditemani oleh punggawanya yang bernama Dora, sementara Sembada tetap tinggal di Pulau Pulo Majethi, diperintahkan menjaga pusaka andalannya. Ajisaka berpesan bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada Ajisaka sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.
Pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara yang terkenal makmur, tertib, aman dan damai, yang bernama Medhangkamulan. Rajanya bernama Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang luhur budinya serta bijaksana. Pada suatu hari, juru masak kerajaan mengalami kecelakaan, jarinya terbabat pisau hingga terlepas. Ki Juru Masak tidak menyadari bahwa potongan jarinya tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Prabu. Ketika tanpa sengaja memakan potongan jari tersebut, Sang Prabu serasa menyantap daging yang sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk menanyakan kepada Ki Juru Masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap tadi adalah daging manusia, sang Prabu lalu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari menghaturkan seorang dari rakyatnya untuk santapannya. Sejak saat itu Prabu Dewatacengkar mempunyai kegemaran yang menyeramkan, yaitu menyantap daging manusia. Wataknya berbalik seratus delapanpuluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya. Negara Medhangkamulan beubah menjadi wilayah yang angker dan sepi karena rakyatnya satu persatu dimangsa oleh rajanya, sisanya lari menyelamatkan diri. Sang Patih pusing memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa dihaturkan kepada rajanya.
Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya Dora tiba di Medhangkamulan, heranlah Sang Satria melihat keadaan yang sunyi dan menyeramkan itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka lalu menghadap Rekyana Patih, menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu Dewatacengkar. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa sayang bila Ajisaka yang harus disantap Sang Prabu, namun Ajisaka sudah bulat tekadnya, sehingga akhirnya iapun dibawa menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tak habis pikir, mengapa Ajisaka mau menyerahkan jiwa raganya untuk menjadi santapannya. Ajisaka mengatakan bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalkan ia dihadiahi tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya.
 Di samping itu, harus Sang Prabu sendiri yang mengukur wilayah yang akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu menyanggupi permintaannya. Ajisaka kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewatacengkar terpaksa semakin mundur dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi laut selatan. Ikat kepala tersebut kemudian dikibaskan oleh Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika wujudnya berubah menjadi buaya putih. Ajisaka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan.
Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan, Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Pulau Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Pulo Majethi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka ketika meninggalkan Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta agar pusaka tersebut diberikan kepadanya. Akhirnya kedua punggawa itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Sang Prabu Ajisaka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
Ha Na Ca Ra Ka
“ada utusan”
Da TA Sa Wa La
“saling berselisih pendapat”
Pa Dha Ja Ya Nya
“sama-sama sakti”
Ma Ga Ba Tha Nga
“sama-sama mejadi mayat”
Aksara Jawa Hanacaraka 
Aksara Jawa Hanacaraka
Tanda baca & pelengkap pada aksara Hanacaraka
Tanda baca & pelengkap pada aksara Hanacaraka

0 komentar:

Posting Komentar